Perbatasan Sacaca
King Wallace turun dari kudanya dan diikuti oleh Pangeran
Gheget dan Jendral Mitsui. Para Samurai
di sekitar mereka tampak tegak siaga berjaga-jaga. Sebuah meja persegi empat dengan panjang
hampir delapan hasta terbentang sekitar 10 langkah dari mereka. King Darkcon dari Morogoro nampak duduk paling
utara, tangan kanannya menopang dagu pandangannya menatap tajam ke arah
datangnya rombongan Kerege. Disamping
kanannya duduk Rizwan raja dari Zinga yang terlihat asyik memainkan pisau
pemotong daging dengan tangan kirinya. Dihadapannya
Yaytso raja dari Azarede nampak asyik mengunyah telur rebus yang tersaji diatas
meja.
Dalam hitungan detik ketiga petinggi Kerege tersebut telah
sampai di ujung selatan meja. Wallace
segera mengambil posisi tempat duduk
diikuti oleh Gheget dan Mitsui.
Suasana senyap,
dingin dan beku seperti hembusan angin yang serasa menusuk tulang
belulang dipenghujung musim salju.
“Wallace, kita selesaikan pertikaian ini…” Ujar Darkcon
memulai pembicaraan. “Tarik mundur
pasukanmu dari perbatasan Ocuri, aku beri waktu tiga hari..” lanjutnya.
“Maksud anda…?” Potong Pangeran Gheget
“Bawa pasukan mu kembali ke Kegere dan menjauh dari Ocuri
atau akan kami bumi hanguskan dalam sekejap mata.” Rizwan berucap lantang
sambil menancapkan pisau yang sedari tadi dia mainkan dengan tangan kirinya,
menghunjam dalam diatas meja.
Mitsui sontak bangkit dan menggebrak meja. Melihat gelagat itu para samurai yang sejak
tadi diam siap siaga serentak menggerakan tangannya siap mencabut katana mereka
dari sarungnya. Wallace memberi isyarat
pada Mitsui agar duduk kembali.
“Ocuri tanah merdeka, siapapun berhak kesana dan tidak ada
yang berhak mengatur siapa yang datang dan pergi” Ucapnya dengan suara bariton
khasnya yang dalam dan penuh kharisma.
“Ha ha ha ha…, siapa bilag… tanah itu dan Macha, Calcha
serta Dimbokoro sudah tertulis ditakdirkan untuk kami…” Rizwan tertawa keras
sambil menyeringai ke arah Wallace.
“Maaf, kami akan tetap memasuki Occuri, apapun yang terjadi.”
Mitsu menjawab dengan tegas.
“Maka Occuri akan bersimbah darah wahai Jendral Mitsui, dan
berapa banyak keluarga Kerege yang akan kehilangan sanak saudara mereka..” Darkcon
mencoba menggoyahkan keputusan dari Kerege.
“Hal yang sama yang harus kalian pertimbangkan juga… jangan
kalian kira kalian paling hebat diseantero jagat raya.” Ucap Pangeran Gheget
sambil mengepalkan tangannya diatas meja.
“Ha Ha Ha…. Kalian mencari mati Kerege…. Santaplah telur ini
sebagi perjamuan terakhirmu sebelum besok kalian berkalang tanah”. Yaytso melemparkan tiga telur rebus serentak
ke arah utusan Kerege. Belum sempat
butir telur itu mengenai para petinggi Kerege itu satu desingan anak panah
melesat menembus tiga telur itu
beriringan dan mengirimnya kembali ke arah Yaytso. Anak panah dengan mata panah berwarna
keemasan itu menancap tepat didepan Yaytso dengan tiga telur yang tadi dia
lemparkan bertumupuk tertusuk oleh anak panah itu. Sekejap para pengawal Darkcon menghunus
samurai ke arah pelepas anak panah.
“Panglima KenKen… jangan bertindak gegabah…” Ujar Pangeran
Gheget pada salah satu pengawal yang dia bawa menemaninya. Panglima Kenken adalah pemanah paling handal
di kerajaan Kerege, keturunan klan pengguna Chu-Ko-Nu paling berbakat saat ini.
Pangeran Gheget berdiri dan memberi tanda kepada Darkcon agar para
pengawalnya mundur.
“Kalian mencari mati Kerege…. Camkan itu…” Ujar Darkcon
Geram.
“Sepertinya tidak ada lagi yang bisa kita bahas disini….Kami
pamit kembali Darkcon.” Pungkas Wallace.
Ketiganya segera berjalan mundur kembali menuju kuda
mereka. 15 orang pengawal yang
menemani mereka termasuk Panglima KenKen
pun bersiaga mengamati pergerakan para samurai Darkcon. Sekejap mereka pun sudah memacu kuda mereka
kembali ke Kerege.
Tepian Sungai
Ravenile
“Paman-paman, ada seseorang terbaring disini, dia terluka
parah.. sepertinya dia hanyut terbawa arus sungai dari arah Sacaca”. Seorang remaja tanggung yang sedang bermain
ditepi sungai memanggil pamannya ketika dia menemukan tubuh seorang pemuda yang
penuh luka dan darah yang mengering dibeberapa bagian tubuhnya. Dua tangannya menggenggam masing-masing
sebilah pedang yang juga penuh noda bercak darah.
Lelaki paruh baya yang dipanggil paman tadi menghampiri,
memeriksa tubuh penuh darah tersebut.
“Sepertinya dia masih hidup, ayo kita selamatkan dan obati
dia “. Ujarnya sambil dipanggulnya tubuh
itu. “ Jambunada kok bawa kedua
pedangnya dan bergegas pulang kerumah, serta minta kakakmu memasak air panas
untuk mengobati luka prajurit ini”.
Lanjutnya.
“Tapi paman, dia kan prajurit Kerege, aku lihar dari lambang
kerajaan di bajunya..”
“Kita menolong tidak memandang dia lawan atau kawan, kenal
atau tidak.. menolong adalah menolong” Imbuh Pamannya.
Istana Kerege
Putri Gayatri memasuki halaman istana sebelah barat, saat
memasuki anak tangga pintu Kalingga dia berpapasan dengan Panglima KenKen. Panglima KenKen menjura hormat padanya,
sementara Putri Gayatri tertunduk dan menangkupkan dua telapak tangannya
didepan dada. Panglima KenKen segera
berlalu. Sesekali ia menengok ke arah Putri Gayatri membuatnya teringat pada
Pangilma ThanThan, seorang perwira muda
yang dia kenal saat sama-sama memasuki akademi balatentara Kerege dan yang kemudian menjadi sahabat kentalnya,
setidaknya hingga saat kepergian Panglima ThanThan ke Havana beberapa pekan
yang lalu.
Putri Gayatri bergegas masuk ke dalam ruang Kalingga,
ditemuinya Pangeran Gheget yang sudah menantinya sejak beberapa saat yang lalu.
“Ada apa, Putri Gayatri?” Pangeran Gheget memulai
pembicaraan.
“Saya ingin mengucapkan terimakasih, atas kepedulian anda
Pangeran, sejak beberapa pekan sejak kabar meninggalnya Kakanda ThanThan di
Havana.” Gayatri berucap lirih.
“Saya dengar pasukan kita akan berangkat berperang ke
Ocuri.. saya turut mendo’akan yang terbaik untuk kerajaan kita.” Lanjut
Gayatri.
“Semoga, kita bisa meraih kemenangan disana, seperti harapan
Panglima ThanThan”
“Semoga Pangeran,… namun sebelum anda berangkat, mohon maaf
sebesar-besarnya saya ingin mengembalikan pemberian anda..” Gayatri memberikan sebuah kotak kecil yang
dibungkus oleh kertas warna merah delima.”
“Kenapa…?”
“Saya tidak ingin memberi anda harapan, saya masih mencintai
almarhum suami saya… mohon maaf Pangeran saya mohon pamit.”
Gayatri lalu beranjak pergi meninggalkan ruang Kalingga.
Gerbang Ocuri
Jendral Mitsui berada dibarisan paling depan ratusan ribu
prajurit Kerege yang siap berangkat ke Ocuri
“Hari ini kita akan memulai pertempuran paling penting untuk
kerajaan kita. Saat gerbang itu terbuka
dan kita memasuki area Ocuri, kita harus memperlihatkan kemampuan, kekuatan,
hasrat dan keberanian kita! Semua
prajurit kerajaan kita adalah petarung tangguh,
para punggawa yang haus darah.
Kita tidak ada masa jeda sekarang, pertempuran menanti disana dan inilah
saatnya kita memperlihatkan kemampuan kita dan mengusir balik musuh ke rumah
mereka. Kita berperang bukan karena kita membenci apa yang ada dihadapan kita,
tapi karena kita mencintai apa yang ada dibelakang kita, dan kita tidak akan
membiarkan melihat mereka menderita.
Ratusan ribu derap langkah pasukan akan menemui takdirnya, kita tidak
khawatir tentang kematian, karena kita akan datang kesana dan memenangkan
pertempuran” Ujarnya lantang disambut riuh gemuruh pasukan Kerege.
Beberapa saat kemudian gerbang terbuka. Semua melesat bergerak cepat menuju Occuri
laksana anak panah lepas dari busurnya, meninggalkan debu-debu tanah yang
membumbung tinggi ke angkasa.
0 Comments